KONSEP DAN MAKNA KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN ISLAM

KONSEP DAN MAKNA KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis nirmatif, maupun rasional filossofil yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pertama dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagai mana dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmurdan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya. Pengertian ini sejalam dengan pengertian Islam yang berarti selamat, sentosa, aman dan damai. Dari pengertiannya ini dapat diketahui bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan missi Islam itu sendiri. Missi inilah yang sekaligus menjadi missi kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
Artinya: Dan tidalah kamu mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-anbiya’ 21:107)
Kedua dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan dengan Allah misalnyaharus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allah wa habl min al-Nas). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan ajuran melakukan amal salih yang didalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya ajaran Islam yang pokok yakni Tukun Islam, seperti mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang komitmen bahwa hidupnya hanya akna berpengan pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya, karena tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan, jika tidak ada komitmen iman dalam hati nya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah) mengandung maksud agar mau memperhatikan nbasih orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir dalam tarnyam dan berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya dalam ibadah puasa seseoarnag diharapakan dapat merasakan lapat sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada dalamkekurangan. Kemudian dlam zakat, tampak jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji, dihapkan agar ia memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya.
Ketiga, bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, merupakan missi kwkhalifahan yang dilakukan oleh Nabi Adam AS. sebagian pakar, sebgaimana dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalambukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan bahwa kesejahternaan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan istirinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahuin, bahwa sebelum Adam dan istirinya diperintahkan turun kebumi, merke terlebih dahulu ditempatkan di surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkan di bumi, serta kelak dihuninya sevara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam firman-Nya yang berbunyi :
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(117)إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى(118)وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(119)
Artinya: hai adam \, sesungguhnya ini (iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi istirimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engankau akan bersusah payah. Sesungguhnya engakau tidaka akan kelaparan di sisni (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engakau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thaha, 20:117-119).
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengantidak lapar, dahaga telanjang dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpnuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejhahteraan sosia..
Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranat dan lembaga yang secara langsung berhubungan dengnupaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranat sosial dan berupaya mencari berbagai alternatuf untuk mewujudkan kesejahternaan sosial. Namun suatu hal yang pelu dicatat, adalah bahwa berbagai bentukpranat ini belum merata dilakukan oleh ummat Islam, dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosil. Hal ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang baik. Untuk itulah saat ini Pemerintah, melalui Departemen Agama, membentuk semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat Nasional. Berhasilkan konsep ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, amat bergantung kepada partisipasi kita.
Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesehateraan sosial ini selain dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga disertai dengan petunjuk bagaimana seharusnya mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan bahwa kesehateraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuh suburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lagri masyarakat yang seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad SAW, melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain. Selain itu ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain, atau kreatifitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi SAW. mengadukan kemiskinannya, Nabi SAW tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya ajaran Islam tentang kesejahteraan sosial .

CIRI ORANG YANG BERTAKWA

Salah satu perintah Allah swt. yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. adalah agar kita, orang-orang mukmin, berusaha mencapai tingkat/derajat taqwa. Taqwa kepada Allah swt. begitu penting, karena dengan taqwa ini, seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. Taqwa adalah buah dari pohon ibadah. Ia merupakan tujuan utama dari setiap perintah ibadah kepada Allah swt. Perintah berpuasa misalnya bertujuan untuk meningkatkan derajat ketakwaan bagi orang-orang beriman. Taqwa yang sesungguhnya hanya diperoleh dengan cara berupaya secara maksimal melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangannya. Ketaatan ini adalah ketaatan yang tulus, tidak dicampuri oleh riya atau pamrih.
Banyak sekali ayat-ayat Allah maupun hadis Nabi saw. yang menekankan perintah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Di antarnya adalah firman Allah swt. :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. QS. Ali Imran 3:102.
Firman Allah tentang kedudukan orang-orang yang bertaqwa:
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan”. QS. An-Naba’ 78:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menadakan baginya jalan keluar. Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”. QS. Ath-Thalaq 65: 2-3.
Taqwa kepada Allah artinya mempunyai kesadaran akan kehadiran-Nya. Allah selalu dekat dan menyertai kita, selalu mengawasi setiap perbuatan kita sehingga menimbulkan kesadaran agar kita senantiasa berhati-hati, jangan sampai menyimpang dari tuntunan, ajaran, dan ketentuan-ketentuan Allah swt. dalam kehidupan keseharian kita. Hal tersebut akan mendatangkan ketentraman dan ketenangan hati serta kesejahteraan dan keselamatan baik dalam kehidupan di dunia yang sebentar ini, maupun dalam kehidupan di akhirat yang langgeng kelak.
Apakah kita sudah berhasil mencapai tingkat taqwa tersebut? Hanya Allah swt. dan kita masing-masinglah yang mengetahuinya dengan tepat.
Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan taqwa adalah surah al-A’raf ayat 26 sebagai berikut:
يابنى آدم قد أنزلنا عليكم لباسا يوارى سوءاتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من ءايات الله لعلهم يذكرون
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.
Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Ia telah menyediakan dua macam pakaian bagi manusia:
Pertama, pakaian lahir yang mempunyai 2 (dua) fungsi pokok, yaitu untuk menutupi aurat atau melindungi fisik orang dari bahaya yang datang dari luar dan (fungsi kedua) sebagai hiasan.
Para ulama menjelaskan bahwa pakaian lahir yang disebut dalam ayat itu, di samping pakaian yang kita kenakan sehari-hari, berarti pula semua kenikmatan duniawi yang dianugrahkan Tuhan kepada kita yang memang kita butuhkan dalam hidup ini. Misalnya kesehatan badan, penguasaan ilmu pengetahuan yang luas dan dalam, perolehan rezeki/harta yang cukup, dan kekuasaan duniawi. Itu semua adalah perkara lahir yang dibuthkan manusia dalam hidupnya di dunia ini.
Kedua, pakaian batin, atau dalam ayat di atas disebut “pakaian taqwa”. Pakaian taqwa ini –menurut ayat di atas- ternyata lebih baik dan lebih pentng ketimbang pakaian lahir. Ini karena pakaian taqwa akan memperindah ruhani, hati dan jiwa manusia. Pakaian taqwa akan menentukan apakah pakaian lahir tadi bermanfaat atau tidak. Banyak orang berpakaian lahir, tapai tidak berpakaian taqwa, maka pakaian lahir tadi tidak memberikan manfaat apa-apa untuknya di dunia maupun di akhirat.
Al-Hasan al-Bashri, ulama besar yang hidup pada akhir abad VII M, dalam telaahnya tentang pengertian taqwa yang terkandung dalam surah al-A’raf ayat 26 di atas, mengungkapkan ciri-ciri orang yag bertaqwa kepada swt., sebagai berikut:
1. Teguh dalam keyakinan dan bijaksana dalam pelaksanaannya;
2. Tampak wibawanya karena seuma aktivitas hidupnya dilandasi kebenaran dan kejujuran;
3. Menonjol rasa puasnya dalam perolehan rezeki sesuai dengan usaha dan kemampuannya;
4. Senantiasa bersih dan berhias walaupun miskin;
5. selalu cermat dalam perencanaan dan bergaya hidup sederhana walaupun kaya;
6. Murah hati dan murah tangan
7. Tidak menghabiskan waktu dalam perbuatan yang tidak bermanfaat;
8. Tidak berkeliaran dengan membawa fitnah
9. Disiplin dalam tugasnya;
10. Tinggi dedikasinya;
11. Terpelihara identitas muslimnya (setiap perbuatannya berorientasi kepada terciptanya kemaslahatan/kemanfaatan masyarakat);
12. Tidak pernah menuntut yang bukan haknya serta tidak menahan hak orang lain;
13. Kalau ditegur orang segera intropeksi. Kalau ternyata teguran tersebut benar maka dia menyesal dan mohon ampun kepada Allah swt. serta minta maaf kepada orang yang tertimpa oleh kesalahannya itu;
14. Kalau dimaki orang dia tersenyum simpul sambil mengucapkan: “Kalau makian anda benar saya bermohon semoga Allah swt. mengampuniku. Kalau teguran anda ternyata salah, saya bermohon agar Allah mengampunimu.
Kalau kita mempunya ciri-ciri seperti di atas, berarti kita pantas merasa telah mencapai tingkat ketaqwaan keapda Allah swt. dan tentu harus kita pwlihara serta tingkatkan terus menerus. Pakaian taqwa dengan ciri-ciri seperti di atas yang telah kita perjuangkan; menenunnya/merajutnya dengan susah payah sepanjah hidup kita ini janganlah dirusak lagi. Semoga Allah swt. menuntun kita masing-masing untuk mencapai tingkat taqwallah seperti di atas.

AL-QUR’AN DAN KEHIDUPAN MASA KINI

Al-Qur’an adalah kitab suci yang terakhir dan tersempurna, diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai petunjuk untuk keselamatan hidup ummat manusia di dunia dan akhirat. Wahyu tersebut diturunkan Allah ke dalam hati yang suci. Allah berfirman:
تزل به روح الأمين . على قلبك لتكون من المنذرين.
“Al-Qur’an di bawa oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu (Nabi Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”. (QS. Al-Syu’ara, 26:193-4).

Ayat ini mempunyai makna dan arti bahwa terjadinya hubungan atau komunikasi antara Allah dan manusia adalah melalui hati yang suci dan bersih, dan dari hati yang suci itu pulalah orang dapat menyampaikan dan memberikan peringatan kepada orang lain.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling belakangan diturunkan dan tidak ada satu kitab suci pun yang paling terkenal dalam sejarah dan paling besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia, kecuali kitab suci al-Qur’an. Karena itu, bagi seorang muslim, pemahaman terhadap al-Qur’an meruapakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk menjadi bimbingan dalam kehidupan kita.
Bafi seorang sosiolog misalnya, pemahaman terhadap al-Qur’an merupakan suatu hal yang penting mengingat jejak yang telah ditimbulkan Al-Qur’an sepanjang sejarah masyarakat manusia dan pengaruhnya begitu besar terhadap kehidupan ummat manusia. Sampai saat ini, al-Qur’an sudah dipahami dari berbagai bidang ilmu.
Walaupun demikian, kebutuhan seorang muslim terhadap al-Qur’an dan pemahamannya adalah karena Al-Qur’an merupakan prinsip dasar agama, prinsip iman dan pemikiran yang dapat memberi arti, dorongan, kesucian dan semangat dalam hidup. Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan yang paling suci bagi orang-orang yang mau hidup suci.
Karena al-Qur’an adalah petunjuk untuk keselamatan hidup kita dunia dan akhirat, maka kita perlu merasakan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada kita dan pada saat ini. Ini bermakna bahwa al-Qur’an benar-benar memberi petunjuk buat kita sekarang ini. Jadi, kita benar-benar memfungsikan al-Qur’an sebagai kebutuhan yang sangat mendesak untuk saat ini.
Al-Qur’an hanya akan menjadi mainan hidup saja jika tidak diterima dengan hati yang suci.
يقولون بأفواههم ما ليس فى قلوبهم
“Mereka mengatakan dengan bibir apa yang tiada dalam hati mereka” (QS. Ali Imran, 3:167)

Jadi al-Qur’an akan dapat menjadi petunjuk, jika diterima dengan hati yang suci:
ومن يؤمن بالله يهد قلبه
“Barang siapa beriman kepada Allah, Ia akan memberi hidayah pada hatinya”. (QS. Al-Thaghabun, 64:11)

Menurut ajaran al-Qur’an, keberadaan iman, taqwa, dan hidayah ditempatkan Allah di hati. Demikian juga puncak pengetahuan tertinggi, yaitu wahyu, juga ditempatkan dalam hati. Itu sebabnya semua kebaikan mucul dari hati yang suci dan tulus, seperti cinta, rahmah, toleran, ketenangan, kedamaian, kesucian, dan semua sifat terpuji.
Sebaliknya, pada hati itu pula tersimpannya kekafiran, kebodohan, kebencian, kesombongan, kekerasan, kedengkian, kegoncangan, kegelisahan, ketakutan dan semua sifat tercela. Sifat dan perbuatan terpuji muncul dari hati yang sehat (qalb salim), sedangkan sifat dan perbuatan tercela mucul dari hati yang mengidap penyakit.
فى قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ولهم عذاب أليم بما كانوا يكذبون
“Dalam hati mereka terdapat penyakit lalu Allah menambahkan penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih atas apa yang mereka dustakan” (QS. Al-Baqarah, 2;10)

Dari penyakit-penyakit hati inilah timbul kerusakan hidup, kerusakan bangsa dan negara. Untuk pengobatannya, tidak ada jalan, kecuali kembali kepada al-Qur’an dengan hati yang tulus dan suci. Al-Qur’an adalah obat untuk kehidupan ini, karena itu kembalilah kepada al-Qur’an, jika ingin hidup tenang, damai dan aman. (Zuhri).

DOA

Wahai Tuhanku, inilah hamba-Mu yang mengembara kembali menghadap rahmat-Mu, yang maksiat kembali kepada kebenaran. Hamba-Mu yang berdosa menghadap dengan memohon ampunan. Ampunilah aku dengan kemurahan-Mu dan terimalah aku dengan karunia-Mu, dan pandanglah aku dengan rahmat-Mu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu, dan peliharalah sisa-sisa hidupku. Sungguh, segala kebaikan itu seluruhnya berada pada-Mu, dan Engkau adalah paling Penyayang dan Maha Mengasihi kami.”